Jumat, 26 April 2013

Kapsulku


Kapsul Matahari
SEKAWAN


Masih di hari yang sama tepatnya hari  kamis 06 Januari 2011 aku, Chris, Pita, dan Nuri duduk berderet di sebuah bangku panjang di depan ruang keorganisasian islam.  Aku dan Pita merupakan teman sebangku, begitu pula dengan Nuri dan Chris, mereka duduk tepat di belakang tempat duduk kami. Di antara kami berempat, Pita adalah murid yang paling berbeda, dia adalah murid yang rajin dan tugas-tugasnya selalu rapi. Tetapi, dia memiliki persamaan dengan kami yaitu tidak terlalu berambisius dengan fisika, tapi anehnya dia selalu memintaku untuk mengambil jurusan tehnik sipil atau elektro. 


Suatu hari ketika jam pelajaran fisika berlangsung kami berempat memutuskan untuk pergi meninggalkan kelas menuju tempat favorit kami untuk sekedar sharing dan bercanda, karena hal tersebut akan membuat kami lebih enjoy dan mengenang masa-masa yang hanya akan sekali dilewati. Dalam suatu perkumpulan sekawan tersebut aku melihat sebuah botol air mineral kosong yang sedang tergeletak tak berdaya dan tiba-tiba aku berpikir mengapa kita tidak membuat kapsul waktu yang seperti di film-film itu dan tiba-tiba suara merdu Chris mengagetkanku “Kamu, ngapain sih serius amat?”. “Nggak cuman lagi kepikiran aja, gimana kalo kita buat kapsul waktu?” jawabku, Nuripun menjawab “Hmm ayok, botolnya gimana masak iya pake botol air mineral”. “Gampang itu nanti aku yang bawa” sambungku. “Ok” serentak suara mereka bertiga. Meninggalkan kelas kali ini membawa suatu ide bagus buat kami.


Tepat hari selasa sore seusai keluar dari tempat yang namanya sekolah, kami berempat tidak lekas kembali ke rumah melainkan bersiap-siap menuju sebuah lokasi yang telah kami janjikan kemarin untuk mengubur kapsul kami. Sebelumnya kami menuliskan sepuluh harapan dan impian di masa mendatang, sepuluh wishing tersebut tergulung dalam sebuah kertas putih berukuran 5 inchi berbentuk persegi dengan pita berwarna yang mengikatnya. Aku memilih pita berwarna biru muda, Pita memilih pita dengan warna ungu, Chris memilih pita warna merah muda yang tak lain warna tersebut merupakan warna favoritnya, sedangkan Nuri memilih warna hijau. Sebelum memasukkan kertas harapan ke dalam botol,  Pita memutar sebuah film pendek berjudul “Sebongkah Harapan di Sudut Kandang”. Film tersebut mengisahkan seorang anak kecil bernama Supiana yang merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Dia berasal dari keluarga tidak punya namun kaya akan moralitas. Usianya yang masih sepuluh tahun tidak menghalangi tekadnya dalam menanggung beban keluarga. Film yang berdurasi delapan menit tersebut berhasil membuat kami meneteskan air mata dan saling berjanji untuk tidak berhenti karena lelah namun akan berhenti karena selesai


Kertas 5 inchi yang baru saja kami gulung seolah menjadi mentari kala kepenatan mendera, warna pita yang mengikatnya tertanam dalam pikiran akan selalu mengingatkan bahwa kami punya mimpi yang tak hanya akan menjadi mimpi. Empat gulungan kertas perlahan kami masukkan ke dalam botol dengan harapan enam tahun mendatang harapan dan impian yang kami tulis menjadi nyata dengan proses yang pasti. Lalu, kami mengubur kapsul matahari tersebut di bawah pohon mangga di taman kota. 


            Hari-hari di sekolah masih seperti biasanya, ada  tugas dan laporan yang telah menjadi  menu makanan sehari-hari. Namun, ada perbedaan yang tak bisa dilihat secara kasat mata yaitu kepastian. Kepastian yang tertanam dalam nurani yang menegaskan langkah kami berempat untuk mengambil suatu proses menuju lembah keberhasilan. “Hai Chris! lagi ngaps sih kamu?” sapaku. “Hai jugaaa, ya biasa nugas” jawab Chris santai. “Kalo Nuri ngapain?” tanyaku pada Nuri. “Gambar kucing bro” tegasnya. “Tumben ya Pita belum datang, biasanya kan yang telat aku” gumamku. Tak seperti biasanya ia datang terlambat, apalagi setelah guru pengajar. Tiba-tiba lima menit kemudian terdengar suara ketukan pintu dan sesosok gadis datang dengan pelan-pelan yang tak lain adalah Pita “Maaf pak, saya terlambat” tuturnya. “Iya, lain jangan diulangi ya!” kata guru pengajar. Kemudian Pita duduk di sampingku. “kamu tumben baru datang?” tanyaku heran. “Iya ceritanya panjang, nanti aja tak ceritain” jawabnya singkat. 


Suara bel terdengar nyaring yang menandakan bahwa sekarang adalah waktu istirahat. Namun, Pita tak kunjung menceritakan alasan mengapa ia datang terlambat. Aku semakin penasaran “Pit, tadi katanya mau cerita?” tegurku. Tetapi, ia malah menoleh ke arahku dan diam. Tiba-tiba ia berkata “Untuk mencapai lembah keberhasilan, tak selalu dengan pendidikan. Kita butuh keberanian dan keikhlasan”. “Iya sih” kataku.

(5 tahunkemudian)


Aku mengenang kembali masa-masa SMA bersama sekawan, kami tidak lagi bercanda, menyontek tugas dan yang lainnya. Aku baru mengerti kata-kata Pita 5 tahun yang lalu saat duduk di bangku panjang. Aku ingin bertemu dengannya dan mengatakan “Sekarang aku tahu, dari semua hal yang terlewati. Ternyata keberanian dan keikhlasan adalah kunci untuk membuka kembali kapsul matahari yang pernah kita buat”. Aku ingin bertemu Chris dan Nuri untuk berkumpul lagi membahas masalah fisika. Namun, tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dan membangunkanku dari lamunan SMA. “Hei, ngelamun aja. Kamu dicari tuh sama orang, katanya sih udah buat janji” tuturnya. “Ok” jawabku singkat. 


Aku menuju ruang tempat tiga orang yang sedang menungguku dengan tanpa semangat dan aku melihat tiga orang tersebut sedang  mengamati sebuah lukisan kucing yang tergantung pada dinding pojok. “Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku keheranan.  Kemudian mereka bertiga berbalik badan dan ternyata lamunan itu menjadi nyata. Aku tak hanya melihat mereka dalam foto. Tetapi ini real, Tuhan mempertemukan sekawan dengan sangat indah. Dengan alur cerita yang berbeda namun seperti yang mereka inginkan. Inilah kapsul matahari itu yang terbuka dengan proses yang pasti.

1 komentar: