Kapsul Matahari
Masih di
hari yang sama tepatnya hari kamis 06
Januari 2011 aku, Chris, Pita, dan Nuri duduk berderet di sebuah bangku panjang
di depan ruang keorganisasian islam. Aku
dan Pita merupakan teman sebangku, begitu pula dengan Nuri dan Chris, mereka
duduk tepat di belakang tempat duduk kami. Di antara kami berempat, Pita adalah
murid yang paling berbeda, dia adalah murid yang rajin dan tugas-tugasnya
selalu rapi. Tetapi, dia memiliki persamaan dengan kami yaitu tidak terlalu
berambisius dengan fisika, tapi anehnya dia selalu memintaku untuk mengambil
jurusan tehnik sipil atau elektro.
Suatu hari
ketika jam pelajaran fisika berlangsung kami berempat memutuskan untuk pergi
meninggalkan kelas menuju tempat favorit kami untuk sekedar sharing dan bercanda, karena hal
tersebut akan membuat kami lebih enjoy
dan mengenang masa-masa yang hanya akan sekali dilewati. Dalam suatu
perkumpulan sekawan tersebut aku melihat sebuah botol air mineral kosong yang
sedang tergeletak tak berdaya dan tiba-tiba aku berpikir mengapa kita tidak
membuat kapsul waktu yang seperti di film-film itu dan tiba-tiba suara merdu
Chris mengagetkanku “Kamu, ngapain sih serius amat?”. “Nggak cuman lagi kepikiran
aja, gimana kalo kita buat kapsul waktu?” jawabku, Nuripun menjawab “Hmm ayok,
botolnya gimana masak iya pake botol air mineral”. “Gampang itu nanti aku yang
bawa” sambungku. “Ok” serentak suara mereka bertiga. Meninggalkan kelas kali
ini membawa suatu ide bagus buat kami.
Tepat hari
selasa sore seusai keluar dari tempat yang namanya sekolah, kami berempat tidak
lekas kembali ke rumah melainkan bersiap-siap menuju sebuah lokasi yang telah
kami janjikan kemarin untuk mengubur kapsul kami. Sebelumnya kami menuliskan
sepuluh harapan dan impian di masa mendatang, sepuluh wishing tersebut tergulung dalam sebuah kertas putih berukuran 5
inchi berbentuk persegi dengan pita berwarna yang mengikatnya. Aku memilih pita
berwarna biru muda, Pita memilih pita dengan warna ungu, Chris memilih pita
warna merah muda yang tak lain warna tersebut merupakan warna favoritnya,
sedangkan Nuri memilih warna hijau. Sebelum memasukkan kertas harapan ke dalam
botol, Pita memutar sebuah film pendek
berjudul “Sebongkah Harapan di Sudut Kandang”. Film tersebut mengisahkan
seorang anak kecil bernama Supiana yang merupakan anak sulung dari empat
bersaudara. Dia berasal dari keluarga tidak punya namun kaya akan moralitas.
Usianya yang masih sepuluh tahun tidak menghalangi tekadnya dalam menanggung
beban keluarga. Film yang berdurasi delapan menit tersebut berhasil membuat
kami meneteskan air mata dan saling berjanji untuk tidak berhenti karena lelah namun akan berhenti karena selesai.
Kertas 5
inchi yang baru saja kami gulung seolah menjadi mentari kala kepenatan mendera,
warna pita yang mengikatnya tertanam dalam pikiran akan selalu mengingatkan
bahwa kami punya mimpi yang tak hanya akan menjadi mimpi. Empat gulungan kertas
perlahan kami masukkan ke dalam botol dengan harapan enam tahun mendatang
harapan dan impian yang kami tulis menjadi nyata dengan proses yang pasti.
Lalu, kami mengubur kapsul matahari tersebut di bawah pohon mangga di taman
kota.
Hari-hari
di sekolah masih seperti biasanya, ada
tugas dan laporan yang telah menjadi
menu makanan sehari-hari. Namun, ada perbedaan yang tak bisa dilihat
secara kasat mata yaitu kepastian. Kepastian yang tertanam dalam nurani yang menegaskan
langkah kami berempat untuk mengambil suatu proses menuju lembah keberhasilan.
“Hai Chris! lagi ngaps sih kamu?” sapaku. “Hai jugaaa, ya biasa nugas” jawab
Chris santai. “Kalo Nuri ngapain?” tanyaku pada Nuri. “Gambar kucing bro”
tegasnya. “Tumben ya Pita belum datang, biasanya kan yang telat aku” gumamku.
Tak seperti biasanya ia datang terlambat, apalagi setelah guru pengajar.
Tiba-tiba lima menit kemudian terdengar suara ketukan pintu dan sesosok gadis
datang dengan pelan-pelan yang tak lain adalah Pita “Maaf pak, saya terlambat”
tuturnya. “Iya, lain jangan diulangi ya!” kata guru pengajar. Kemudian Pita duduk
di sampingku. “kamu tumben baru datang?” tanyaku heran. “Iya ceritanya panjang,
nanti aja tak ceritain” jawabnya singkat.
Suara bel
terdengar nyaring yang menandakan bahwa sekarang adalah waktu istirahat. Namun,
Pita tak kunjung menceritakan alasan mengapa ia datang terlambat. Aku semakin
penasaran “Pit, tadi katanya mau cerita?” tegurku. Tetapi, ia malah menoleh ke
arahku dan diam. Tiba-tiba ia berkata “Untuk mencapai lembah keberhasilan, tak
selalu dengan pendidikan. Kita butuh keberanian dan keikhlasan”. “Iya sih”
kataku.
(5 tahunkemudian)
Aku
mengenang kembali masa-masa SMA bersama sekawan, kami tidak lagi bercanda,
menyontek tugas dan yang lainnya. Aku baru mengerti kata-kata Pita 5 tahun yang
lalu saat duduk di bangku panjang. Aku ingin bertemu dengannya dan mengatakan
“Sekarang aku tahu, dari semua hal yang terlewati. Ternyata keberanian dan
keikhlasan adalah kunci untuk membuka kembali kapsul matahari yang pernah kita
buat”. Aku ingin bertemu Chris dan Nuri untuk berkumpul lagi membahas masalah
fisika. Namun, tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dan membangunkanku dari
lamunan SMA. “Hei, ngelamun aja. Kamu dicari tuh sama orang, katanya sih udah
buat janji” tuturnya. “Ok” jawabku singkat.
Aku menuju
ruang tempat tiga orang yang sedang menungguku dengan tanpa semangat dan aku
melihat tiga orang tersebut sedang
mengamati sebuah lukisan kucing yang tergantung pada dinding pojok.
“Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku keheranan. Kemudian mereka bertiga berbalik badan dan
ternyata lamunan itu menjadi nyata. Aku tak hanya melihat mereka dalam foto.
Tetapi ini real, Tuhan mempertemukan
sekawan dengan sangat indah. Dengan alur cerita yang berbeda namun seperti yang
mereka inginkan. Inilah kapsul matahari itu yang terbuka dengan proses yang pasti.
Tanggung jawaaab udah bikin nangis
BalasHapus